Ketika seekor gajah dijinakkan, maka gajah diikat dengan rantai. Pawang gajah memberikan makanan dengan posisi agak jauh dari gajah. Sang gajah berusaha untuk menggapainya, akan tetapi tidak bisa karena terikat dengan rantai. Setelah gajah mulai menyerah maka pawang memberikan makanan kepada si gajah.
Kejadian yang sama diulangi esok harinya. Pawang gajah memberikan makanan dengan posisi yang agak jauh dari gajah. Dengan segala cara gajah berusaha mengambil makanan itu sekuat tenaga. Akan tetapi si gajah tetap tidak mampu menggapainya karena diikat dengan rantai. Akhirnya setelah gajah menyerah, si pawang memberikan makanan itu kepada si gajah. Kejadian ini berlangsung berulang-ulang sampai berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Lama-lama gajah cepat menyerah. Karena diulang-ulang terus, lama kelamaan gajah tidak mengambil makanan jika posisinya agak jauh jauh. Walaupun si gajah kelaparan dia tetap tidak mau mengambilnya. Si gajah berfikir bahwa dia tidak akan bisa mengambil makanan karena diikat dengan rantai. Toh nanti makanan juga akan diberikan oleh manusia.
Setelah sekian lama gajah tidak pernah berusaha mengambil makanan, tali rantai yang mengikat gajah diganti dengan tali biasa. Bahkan tiang untuk mengikat tali tadi juga tiang yang lemah. Akan tetapi si gajah tidak pernah mau pergi jauh-jauh jika diikat. Padahal tenaga gajah bisa dipakai untuk menumbangkan pohon kelapa. Si gajah hanya berfikir kalau diikat pasti tidak akan bisa pergi, karena si gajah masih mengira dia diikat dengan rantai.
Nah, hari ini banyak sekali orang-orang yang fikirannya seperti gajah tadi. Sifat gajah masih muncul di benak mereka. Misalnya, jika di suatu kampung tidak ada satupun warganya yang kuliah di perguruan tinggi, maka generasi berikutnya di kampung tersebut tidak ada yang kuliah di perguruan tinggi. Entah datangnya dari mana, terkadang di kampung tersebut ada isu-isu yang menyesatkan, misalnya untuk masuk ke perguruan tinggi, haruslah anak-anak orang kaya atau apapun, sehingga hal itu menghambat mereka untuk mencoba kuliah. Parahnya, kondisi ini berlangsung terus-menerus tanpa ada yang merubahnya, karena memang penduduknya tidak mencari informasi.
Ketika masih kuliah di ITB, saya pernah mudik naik kereta api. Di kereta api, saya duduk bersebelahan dengan mahasiswa dari perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. Mahasiswa ini dulunya sekolah di SMA swata yang tidak begitu dikenal. Ketika ngobrol-ngobrol mahasiswa tadi tanya ke saya,”Mas, kalau kuliah di ITB itu harus dari SMA negri ya”. Langsung saja saya jawab, “Ya enggaklah, yang penting orangya lolos test”. Dalam hati saya berfikir,”Wah mahasiswa di sebelah saya ini ketinggalan informasi banget. Pantesan dia tidak kuliah di ITB”. Mungkin ketika masih SMA, anak ini sering mendengar isu bahwa untuk masuk ITB harus dari SMA negeri, dan ini berlangsung berulang-ulang selama 3 tahun selama dia SMA. Lebih parahnya memang dari SMA itu belum ada yang berhasil masuk ITB. Jadi saya maklum, karena dia mendapatkan informasi yang salah berulang-ulang. Yang jadi masalah, kenapa anak tadi tidak berusaha mencari informasi di luar. Mungkin dia selalu berfikir,”Ngapain juga cari informasi, wong dari sekolah saya juga belum ada yang diterima di ITB.
Variasi dari kejadian ini sangat banyak, bahkan tidak terbatas. Yang jadi masalah, mungkin kita mengalami hal yang sama tanpa kita menyadarinya. Kita mungkin sedang diikat dengan tali yang lemah, tetapi kita tidak berusaha melepasnya karena kita berfikir bahwa kita tidak mungkin melepaskannya. Seperti penduduk kampung tadi yang berfikir bahwa untuk kuliah haruslah anak orang kaya. Karena mereka merasa miskin jadi mereka tidak mungkin bisa kuliah. Sebenarnya yang membatasi bukan hal apapun, kecuali fikiran mereka sendiri. Begitu juga siswa SMA yang selama 3 tahun dapat informasi bahwa yang bisa kuliah di ITB haruslah siswa dari SMA negeri. Sebenarnya fikirannyalah yang membatasi dia untuk tidak mencari informasi lagi.
Ketika siswa SMA saya tanya cita-citanya, mereka rata-rata hanya menjawab bahwa mereka ingin kuliah di jurusan anu pada perguruan tinggi anu. Mereka tidak pernah punya cita-cita yang lebih besar, misalnya ingin memiliki perusahaan mobil, ingin memiliki galangan kapal, ingin memiliki supermarket yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, dan sebagainya. Mereka hanya berfikir bahwa untuk bisa seperti itu mereka harus memiliki modal yang kuat. Padahal sebenarnya tidak. Banyak sekali orang yang dulunya miskin akhirnya memiliki banyak perusahaan besar. Anehnya walaupun mereka sering mendengar banyak orang miskin yang akhirnya sukses luar biasa, mereka tidak berusaha mencari informasi, bagaimana caranya agar mereka bisa sukses dengan kesuksesan yang luar biasa. Jadi sebenarnya yang membatasi adalah fikiran mereka sendiri.